MAKALAH
KAJIAN
TEORI INTELIGENSI
Ditujukan
sebagai pemenuhan tugas pada mata kuliah
Psikologi
Pendidikan
Dosen
Pengampu:
Meta
Eka Setyana, S.Pd.B.,M.Pd.
Oleh
:
Darma
Diantoro
Novita
Sari
Prasetya
Wati
Sekolah
Tinggi Ilmu Agama Buddha
JINARAKKHITA
Bandar
Lampung
2015
KATA
PENGANTAR
Berkat
pancaran cinta kasih dari para Buddha Bodhisattva Mahasattva, penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Kajian Teori Inteligensi” sebagai
pemenuhan tugas pada mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Penulis
menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis butuhkan. Sehingga dalam penulisan
makalah yang akan datang dapat tersusun lebih baik. Penulis ucapkan terimakasih
kepada pihak yang telah terlibat dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Jinarakkhita.
Bandar
lampung, 19 Maret 2015
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kecerdasan sering
dipahami oleh masyarakat sebagai kemampuan seseorang dalam proses berfikir.
Proses berfikir disini dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam.
Pengetahuan yang diperoleh akan menjadi landasan mencapai kesuksesan. Banyak
yang menganggap bahwa orang cerdas dalam intelektual akan sukses. Namun, kesuksesan
seseorang tidak hanya ditentukan dari kecerdasan intelektual saja, melainkan adanya
dukungan dari kecerdasan lain. Kecerdasan tersebut adalah kecerdasan emosional
dan kecerdasan spiritual. Ketiga kecerdasan ini terdapat didalam diri setiap
individu, dan akan berkembang jika dapat mengasahnya dengan baik. Dalam
prakteknya, ketiga kecerdasan ini memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Berdasarkan
pengetahuan yang penulis peroleh, kecerdasan tertinggi sebagai puncak
kecerdasan adalah kecerdasan spiritual. Seseorang yang memiliki kecerdasan
spiritual tinggi, akan mampu merealisasikan kemampuan yang dimiliki sesuai
dengan norma susila. Maka dari itu, untuk mengetahui lebih dalam bagaimanakah
pengertian masing-masing kecerdasan tersebut, akan dibahas dalam makalah ini.
B. Batasan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, batasan masalah yang dapat penulis tuliskan adalah
menjelaskan teori-teori kecerdasan yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan
intelektual dan kecerdasan spiritual.
C. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
batasan masalah diatas, rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana pengertian
dari teori kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan
spiritual?
D. Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah menjelaskan tentang teori kecerdasan yang terdiri
dari kecerdasan emosional , kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.
E. Manfaat
Manfaat dalam penulisan makalah ini memuat dua
manfaat yaitu:
1.
Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan makalah ini adalah mengetahui
pengertian secara mendalam tentang teori –teori kecerdasan yaitu kecerdasan emosional,
kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.
2.
Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penulisan makalah ini adalah
sebagai sumber pembelajaran bagi rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Agama Buddha Jinarakkhita.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Inteligensi
1. Pengertian
Inteligensi Menurut Para Ahli
Inteligensi
merupakan salah satu milik kita yang paling berharga. Namun orang yang paling
cerdas sekalipun tidak sepakat mengenai pengertian inteligensi. Karena
inteligensi tidak dapat diukur secara langsung seperti tinggi dan berat badan
seseorang. Pengertian inteligensi banyak dikemukakan oleh para ahli. Banyak
para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Beberapa ahli mendeskripsikan
inteligensi sebagai keahlian memecahkan masalah (Problem solving). Ada pula yang mendeskripsikan sebagai kemampuan beradaptasi
dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari.
Menurut John.
W. Santrock (2010) inteligensi adalah keahlian memecahkan masalah dan kemampuan
untuk beradaptasi pada pengalaman hidup serta belajar dari pengalaman hidup
sehari-hari.
Menurut Super
& Cities pengertian inteligensi dikatakan bahwa “Inteligence has frequently
been defined as the ability to adjust to the environment or to learn from
experience” (Super & Cities, 1962:182 dalam Dalyono,2010). Artinya
inteligensi adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar
dari pengalaman.
Selain itu,
pendapat lain tentang pengertian inteligensi dikemukakan oleh Heidentich (Heidentich
dalam Haryu Islamudin, 2012:250) yaitu “Intelligence refers to the ability to
learn and to utilize what has been learned in adjusting to unfamiliat
situation, or in the solving of problems” Artinya adalah kecerdasan menyangkut kemampuan
untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian
terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan
masalah-masalah.
Berdasarkan
pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa inteligensi mengandung
pengertian sebagai upaya pengalaman belajar yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari serta kemampuan memecahkan sebuah permasalah yang dialami. Permasalahan-
permasalahan tersebut berasal dari dalam diri individu, permasalahan sosial, permasalahan akademik
kultural, serta permasalahan ekonomi keluarga.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inteligensi
Seseorang
Haryu
Islamudin dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan (2012:254-255)
mengatakan inteligensi seseorang pasti berbeda. Perbedaan itu tejadi karena
adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Pembawaan
Pembawaan
ditentukan oleh sifat-sifat yang telah ada sejak lahir. Misalnya, dalam sebuah
kelas, seorang guru memberikan materi yang sama, namun tidak menuntut
kemungkinan semua siswa dapat menerima dengan kapasitas yang sama. Hal demikian
terjadi karena kemampuan peserta didik yang berbeda yaitu memiliki kecerdasan
yang baik dan tidak memiliki kecerdasan yang kurang baik.
b.
Kematangan
Kematangan
yang dimaksud disini adalah kematangan organ tubuh dari hasil pertumbuhan dan
perkembangan. Kematangan itu dapat disebut sebagai kesanggupan organ tubuh dalam
menjalankan fungsinya masing-masing. Misalnya, seorang siswa menerima soal namun
tidak dapat mengerjakan dengan baik, dan merasa sukar karena soal tersebut
masih sangat sukar baginya. Hal demikian terjadi karena, kapasitas soal yang
diterima belum sesuai dengan usia anak didik.
c.
Pembentukan
Pembentukan
dapat diartikan sebagai segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi
perkembangan inteligensi. Pembentukan itu dapat dilakukan dengan sengaja
(belajar disekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
d.
Minat dan
pembawaan yang khas
Minat
mengarahkan perbuatan manusia kepada tujuan yang hendak dicapai. Dalam diri
manusia terdapat dorongan –dorongan yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan
dunia luar. Dari dorongan untuk berinteraksi dengan dunia luar itu, timbulah minat terhadap
sesuatu. Segala yang ia minati akan mendorongnya untuk melakukan lebih giat dan
lebih baik lagi.
e.
Kebebasan
Kebebasan
berarti manusia dapat memilih metode-metode yang hendak digunakan dalam
memecahkan masalah. Manusia bebas memilih metode, juga bebas memilih masalah
sesuai kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini berarti minat itu tidak
selamanya menjadi syarat dalam perbuatan inteligensi.
Semua faktor tersebut saling berhubungan satu sama
lain. Untuk menentukan inteligensi atau tindakan seorang anak, kita tidak dapat
hanya melihat satu faktor. Inteligensi adalah faktor total. Keseluruhan
peribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi seseorang.
Faktor-faktor tersebut menentukan perbedaan
inteligensi seseorang. Inteligensi ini bukan hanya kecerdasan intelektual
semata, namun semua kecerdasan-kecerdasan yang lain yang ada dalam diri setiap
manusia. Kecerdasan-kecerdasan tersebut adalah kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini pula memiliki berbagai kelebihan dan
saling menunjang satu sama lain. Untuk itu, perlu mengetahui lebih jelas
bagaimana kecerdasan-kecerdasan tersebut yang sebenarnya.
B.
Pengertian Macam-Macam Kecerdasan
1. Pengertian
Kecerdasan Emosional (Emotional
Quotient /EQ).
Pada tahun 1948, peneliti Amerika R.W.
Leeper memperkenalkan gagasan tentang “pemikiran emosional”, yang diyakininya
sebagai bagian dari pemikiran logis. Akan tetapi, hanya sebagian kecil psikolog
atau pendidik yang melanjutkan pemikiran ini sampai 30 tahun. Kemudian pada
tahun 1989, Howard Gardner dari Universitas Harvard menulis tentang kemungkinan
adanya kecerdasan yang bermacam-macam, termasuk yang disebutkannya kemampuan
dalam tubuh adalah kemampuan melakukan introspeksi dan kecerdasan pribadi.
Selain itu, kecerdasan emosional banyak didefinisikan oleh para ahli yang
berbeda-beda.
Menurut Peter Salovy dan John Mayer
(1990) dalam John W. Santrock (2010:146) kecerdasan emosional adalah kemampuan
untuk memonitor perasaan diri sendiri dan perasaan serta emosi orang lain,
kemampuan untuk membedakannya, dan kemampuan untuk menggunakan informasi ini
untuk memandu pemikiran dan tindakan dirinya.
Konsep kecerdasan emosional menurut Daniel
Goleman dengan hasil riset terbaru itu cukup lebih memberikan kesimpulan
mengapa orang ber-IQ tinggi gagal dan orang ber-IQ rendah justru menjadi
sukses. Goleman percaya bahwa untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ
seperti yang diukur dengan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari
kecerdasan emosional. Dengan hal demikian Daniel Goleman mempopulerkan
kecerdasan lain yang menjadikan orang sukses tanpa IQ tinggi yaitu “Kecerdasan
Emosional” (EQ).
Daniel Goleman memberikan fakta nyata
terhadap kecerdasan IQ yang tinggi namun tidak adanya kecerdasan emosional.
Contoh kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Alasan
sesungguhnya mengapa David Pologruto, seorang guru fisika sekolah menengah,
ditusuk dengan sebilah pisau dapur oleh seorang siswa terpandai dikelasnya
masih diperdebatkan. Tetapi, fakta-fakta yang dilaporkan umumnya sebagai
berikut:
Jason
H, siswa kelas dua yang nilainya selalu A di SMU Coral Spings, Florida,
bercita-cita masuk fakultas kedokteran. Bukan sekedar fakultas kedokteran,
bahkan ia memimpikan Harvard, tetapi, Pologruto, guru fisikanya memberi Jason
nilai 80 pada sebuah tes. Karena yakin bahwa nilai B menghalangi cita-citanya,
Jason membawa sebilah pisau dapur kesekolah, dan dalam suatu pertengkaran
dengan gurunya dilaratorium fisika, ia menusuk gurunya ditulang selangka
sebelum dapat ditangkap dengan susah payah.
Hakim
memutuskan Jason tidak bersalah, karena pada saat itu, ia dianggap gila untuk
sementara selama peristiwa tersebut. Sebuah panel terdiri dari empat psikolog
dan pesikiater bersumpah bahwa ia gila selama perkelahian itu. Jason mengatakan
ia telah berencana untuk bunuh diri, karena nilai tes tersebut, dan pergi
menemui Pologruto untuk mengatakan kepadanya karena nilainya yang buruk itu.
Pologruuto menyampaikan cerita yang berbeda: “saya rasa ia betul-betul mencoba
membunuh saya dengan pisau itu karena ia sangat marah atas nilai tersebut”.
Setelah
pindah kesebuah sekolah swasta, Jason lulus dua tahun kemudian sebagai juara
kelas. Nilai sempurna dari kelas reguler akan memberinya angka A bulat,
rata-rata 4.0. Tetapi karena Jason telah mengikuti banyak kursus lanjutan,
nilai rata-ratanya menjadi 4,614 jauh diatas A+. Meskipun Jason lulus dengan
nilai terbaik, guru fisikanya yang lama, David Pologruto, mengeluh karena Jason
tidak pernah meminta maaf atau mau bertanggung jawab atas serangan tersebut.
(Sukidi, 2004:40)
Berdasarkan cerita tersebut, telah jelas
bahwa orang yang memiliki tingkat intelektual tinggi, belum tentu memiliki
nilai spiritual yang baik, hingga melakukan tindakan yang tidak rasional. Banyak
orang mengatakan dengan tingkat kecerdasan yang tinggi akan menjadi orang yang
sukses, dan yang memiliki IQ sedang
akan hidup dalam kesusahan. Tetapi, menurut Goleman tidak demikian.
Goleman menyimpulkan bahwa
setinggi-tingginya IQ manusia hanya menyumbangkan 20 persen dari faktor-faktor
yang menentukan kesuksesan seseorang, sementara 80 persen diisi dengan
kecerdasan-kecerdasan lain. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Henry R. Meyer
dalam bukunya yang berjudul Emotional
Intelligence (Meyer:28) bahwa “Orang dengan IQ semata, tanpa kecerdasan
emosional, adalah miskin. Bila seseorang sedang memanejemeni, bercinta,
mengasuh atau mengawasi, kecerdasan emosional memberikan kepadanya ketajaman
kompetitif.” Hal tersebut tentu jelas bahwa hanya memiliki kecerdasan
intelektual saja yang tinggi, tanpa ada kecerdasan emosional akan mengubah
segala hal yang baik menjadi buruk.
Kecerdasan emosional menyatukan emosi
dan kecerdasan. Seorang anak yang memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi,
namun emosionalnya tidak terjaga, mereka akan menggunakan akal buruk kedalam
hal-hal yang negatif. Contoh kasus, ketika mereka memiliki teman akrab namun ia
tidak dapat mengendalikan emosional ketika bergaul, ia bisa saja melakukan
tindakan yang merugikan, ia membolos, mengikuti gaya hidup anak sekarang yang tidak
patut dilakukan. Untuk itu, kecerdasan emosional amat penting bagi anak didik.
Dengan mereka memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka mereka akan dapat menjaga perasaannya
dengan berpikir baik, sehingga dapat memilah baik buruknya segala sesuatu.
Selain Goleman mengutarakan pengertian
kecerdasan, kemudian Goleman mengemukakan dari kutipan Salovey yang menempatkan
kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional,
terdapat lima unsur kemampuan utama yang membangun kecerdasan emosi. Kelima
unsur tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Mengenali emosi diri (Knowing one’s emotions self awarenes)
Kemampuan ini merupakan dasar dari
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan
emosinya sendiri. Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Selain itu, dengan mengenali
emosi diri sendiri akan memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri
dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri memungkinkan pikiran rasional
memberikan informasi penting untuk menyingkirkan suasana hati yang tidak
menyenangkan.
Menurut Mayer kesadaran diri adalah
waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang
waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh
emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan
salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai
emosi.
b.
Mengelola emosi (Managing Emotion)
Mengelola emosi merupakan kemampuan
individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau
selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Selain itu,
mengelola emosi dapat diartikan sebagai upaya menangani emosi sendiri agar
berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup
menunda kenikmatan sebelum tercapai suatu tujuan, serta mampu menetralisir
tekanan emosi.
Pengendalian emosi tidak hanya berarti
meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi, melainkan memahami suatu
emosi yang dirasakan, termasuk emosi
yang tidak menyenangkan. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali
merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
c.
Memotivasi diri sendiri (Motivating oneself)
Motivasi merupakan suatu usaha diri
untuk merubah hal yang baru menjadi tindakan positif untuk mencapai suatu
tujuan nyata dan cita-cita. Peran memotivasi diri yang terdiri atas antusiasme
dan keyakinan pada diri seseorang akan sangat produktif dan efektif dalam
segala aktivitasnya.
d.
Mengenali emosi orang lain (Regornizing Emotions In Other)
Kemampuan untuk mengenali emosi orang
lain disebut juga empati. Artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang
lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri.
Semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri, maka semakin terampil kita
membaca perasaan orang lain.
Emosi jarang diungkapkan melalui
kata-kata, melainkan lebih sering diungkapkan melalui pesan nonverbal, seperti
melalui suara, ekspresi wajah, gerak –gerik dan sebagainya. Kemampuan
mengindra, memahami dan membaca perasaan atau emosi orang lain melalui
pesan-pesan non verbal ini merupakan intisari dari empati.
e.
Membina hubungan (Handling Relationships)
Kemampuan mengendalikan dan menangani
emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi
dan jaringan sosial serta bertindak bijaksana dalam membina hubungan antar
manusia. Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan, untuk
menggerakkan dan membina kedekatan hubungan, meyakinkan serta mempengaruhi untuk
membuat orang lain merasa nyaman. Kemampuan sosial ini dapat diartikan sebagai
kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan.
Keterampilan dalam berkomunikasi
merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit
untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan
serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina
hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan
karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.
2.
Pengertian Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient /IQ).
Kecerdasan intelektual merupakan
kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam belajar. Kecerdasan intelektual sering
disebut sebagai kecerdasan yang mengacu terhadap kemampuan kognitif seseorang,
yaitu kemampuan berpikir yang tinggi dalam usaha meningkatkan kemampuan yang
dimiliki. Seseorang yang memiliki kemampuan analitis tinggi cenderung lebih
disukai dalam sekolah umum. Mereka sering kali mudah menyerap palajaran dimana
guru memberi palajaran dan murid diberi ujian. Mereka sering dianggap sebagai
murid “pintar” yang memperoleh ranking bagus, nilainya selalu bagus, dan mudah
masuk ke Universitas.
Murid yang memiliki inteligensi kreatif
tinggi biasanya bukan ranking atas dalam kelas. Strenberg mengatakan bahwa
murid yang kreatif mungkin tidak dapat menyelesaikan tugas pelajaran sesuai
dengan guru. Jawaban mereka mungkin tidak lazim atau tepat, namun jawaban yang
aneh sehingga sering disalahkan oleh guru.
Seperti murid dengan inteligensi kreatif
tinggi, murid dengan inteligensi praktis sering kali kesulitan memenuhi
keinginan sekolah. Namun, murid ini sering berpestasi diluar kelas. Kemungkinan
mereka memilik keahlian sosial yang tinggi. Sehingga saat dewasa, mereka terkadang
menjadi manager sukses, pengusaha, atau politikus meski catatan prestasi
sekolah yang sedang. Dengan pengertian tersebut, kecerdasan analitis yang
dimiliki tidak menjamin kesuksesan seseorang.
Kecerdasan intelektual dijelaskan dengan
berbagai macam teori. Banyak teori-teori dari berbagai ahli menyebutkan
pengertian-pengertian inteligensi yang berbeda. Teori –teori kecerdasan
intelektual itu adalah sebagai berikut:
a.
Teori Uni-facktor
Wilhelm Stern
memperkenalkan inteligensi dengan sebutan “Uni-
factor theory”. Menurut teori ini, inteligensi adalah kemampuan umum.
Karena itu, inteligensi bersifat umum. Reaksi terhadap lingkungan dalam
menyesuaikan diri mereka dan dalam memecahkan masalah bersifat umum. Kapasitas
umum itu dapat timbul akibat pertumbuhan biologis atau akibat belajar.
Kapasitas umum yang ditimbulkan lazim disebut sebagai “G”.
b.
Teori Two-faktors
Seorang ahli
matematika bernama Charles Sperman, mengajukan sebuah teori tentang
inteligensi. Teori ini dikenal dengan sebutan “Two kind of factors theory”. Artinya dalam teori belajar ini
terdapat dua faktor mental terhadap kecerdasan seseorang. Kedua faktor mental
itu disebut dengan faktor yang diberi kode “G” dan faktor yang diberi kode “S”. Faktor “G” mewakili
kekuatan mental yang berfungsi dalam setiap tingkah laku mental individu,
sedangkan faktor “S” menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi
permasalahan.
Faktor “G”
yang terdapat dalam inteligensi seseorang, memiliki kemampuan atau kapasitas
untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Mereka dapat mempelajari
bermacam-macam pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, dan sebagainya
dengan simbol abstrak. Sedangkan mereka yang
inteligensinya terdapat faktor “S” yaitu didasarkan pada gagasan. Artinya,
fungsi otak tergantung kepada ada dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat
bagi situasi atau masalah tertentu. Dengan demikian, luasnya faktor “S”
mencerminkan kerja khusus dari otak, bukan karena struktur khusus otak. Faktor
“S” lebih tergantung terhadap organisasi neurologist
yang berhubungan dengan keamampuan –kemampuan khusus.
c.
Teori Multi-Factors
Teori
intelligensi Multi Faktors
dikembangkan oleh E.L Thorndike. Menurut teori ini, inteligensi terdiri dari
bentuk-bentuk hubungan antara stimulus dan respon. Hubungan neural ini yang dapat
mengerahkan tingkah laku individu. Misalnya, ketika seseorang mampu menghafal
sebuah materi pembelajaran dengan mudah, menghafal puisi, serta melakukan
pekerjaan berarti ia dapat melakukan karena terbentuknya koneksi-koneksi
didalam sistem syaraf akibat belajar dan latihan.
d.
Teori Primary-Mental-Abilities
Teori Primary-Mental-Abilities dikemukakan
oleh L.L. Thurstone. Menurut teori ini, inteligensi terbagi menjadi enam
kemampuan primer, yaitu sebagai berikut:
1)
Kemampuan
numerikal/matematis
2)
Kemampuan verbal/
berbahasa
3)
Kemampuan
abstraksi berupa visualisasi atau berpikir
4)
Kemampuan
membuat keputusan, baik induktif maupun deduktif
5)
Kemampuan
mengenal dan mengamati
6)
Kemampuan
mengingat.
e.
Teori Sampling
Teori Sampling dikemukakan oleh Godfrey H
Thomson pada tahun 1916 dan kemudian disempurnakan kembali pada tahun 1935 dan
1948. Menurut teori ini, inteligensi merupakan berbagai kemampuan sampel. Dunia
berisikan berbagai bidang pengalaman. Berbagai bidang pengalaman dikuasai oleh
pikiran manusia. Masing –masing bidang hanya terkuasai sebagian saja, dan ini
mencerminkan kemampuan mental seseorang.
Inteligensi
beroperasi dengan terbatas pada sampel dari berbagai kemampuan dan pengalaman
dunia nyata. Sebagai gambaran, misalnya sebagian A dan B, atau dapat pula
sebagian dari bidang A, B dan C.
3.
Pengertian Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient / SQ)
Setelah
membahas kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual, terdapat kecerdasan
yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan Spiritual disebut juga sebagai Spiritual Quotien (SQ). Spiritual Quotien (SQ) merupakan temuan mutakhir secara
ilmiah yang digagas oleh Dahar Zohar dan Ian Marshall masing –masing dari
University dan Oxford University. Dalam bukunya yang sangat terkenal SQ: Spiritual Intelligence –The Ultimate
Intelligence, Dahar Zohar dan Ian Marshall menjelaskan bahwa kecerdasan
spiritual adalah “kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna
dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan
atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain”.
Kecerdasan
spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Kecerdasan
spiritual menjadi pengayatan hidup yang sejati. Artinya, mewujudkan hal yang
baik, utuh dan bermanusiawi. Orang yang memiliki SQ yang tinggi memiliki
ciri-ciri tertentu. Mereka adalah orang fleksibel. Tidak ada orang yang dapat
mengubah paradigma yang mereka miliki tanpa fleksibel internal.
Kecerdasan
spiritual merupakan salah satu kecerdasan yang menjadi puncak kecerdasan atau
menjadi kecerdasan tertinggi. Artinya, kecerdasan spiritual lebih tinggi
daripada kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual. Seperti yang
dikatakan oleh Zohar dan Marshall bahwa kecerdasan spiritual adalah landasan
untuk menjalankan atau memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Terdapat alasan
mengapa SQ lebih tinggi daripada EQ dan IQ terlihat dari argumen tentang
kecerdasan spiritual. Enam argumen tersebut yaitu, Segi perenial SQ, Mind Body Soul, kesehatan spiritual, kedamaian
spiritual, kebahagiaan spiritual dan kearifan spiritual.
Terlihat
jelas bahwa kecerdasan spiritual lebih tinggi, dan memfungsikan kecerdasan yang
lain. Untuk melahirkan manusia yang memiliki SQ tinggi, dibutuhkan pendidikan
yang tidak hanya memperhatikan pengembangan IQ melainkan pengembangan EQ dan SQ
sekaligus.
C.
Struktur
Kecerdasan
Setelah memilah ketiga kecerdasan yaitu kecerdasan
emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual, tentunya dari
ketiga kecerdasan tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Dengan adanya
perbedaan itu, maka adanya pola relasi. Pada intinya ketiga kecerdasan tersebut
ada pada diri kita. Kecerdasan emosional mengambil wilayah disekitar emosi diri
kita, karena yang lebih mengembangan emosi supaya menjadi cerdas, tidak
cenderung marah.
Kecerdasan intelektual berada di wilayah
otak (brain) sedangkan kecerdasan
spiritual mengambil tempat di dalam jiwa seseorang. Dari sudut pandang model
berpikir, cara berpikir model kecerdasan emosional bersifat asosiatif, kecerdasan
intelektual cenderung seri, sedangkan kecerdasan spiritual lebih bersifat unitif (menyatukan).
Terlihat dari sudut pandang produk
kecerdasan dan kebahagiaan, kecerdasan emosional lebih mengacu pada emosional happiness (kebahagiaan secara
insting-emosional), kecerdasan intelektual mengacu pada intellectual happiness (kebahagiaan dan bahkan kepuasan
intelektual-material). Sedangkan kecerdasan spiritual akan menghasilkan spiritual happiness (kebahagiaan
spiritual).
Paparan atas struktur kecerdasan
tersebut di atas dapat diringkas dalam bentuk tabel dibawah ini:
No
|
Perspektif
|
JENIS KECERDASAN
|
EQ
|
IQ
|
SQ
|
1.
|
Psikologi modern
|
Emosi (body)
|
Otak (mind)
|
Jiwa (soul)
|
2.
|
Model berpikir
|
Asosiatif
|
Seri
|
Unitif
|
3.
|
Kebahagiaan
|
Instingtif
|
Material
|
Rohaniah
|
4.
|
Produk kecerdasan
|
Emosional
|
Rasional
|
Spiritual
|
(Sumber:
Sukidi : 63)
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Inteligensi merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan kegiatan belajar dan kemampuan
mengatasi masalah-masalah. Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari beberapa
faktor yaitu faktor pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan pembawaan
yang khas, dan kebebasan.
Inteligensi bukan hanya kemampuan analitis
tinggi atau bersifat kognitif, namun inteligensi terdapat beberapa tiga jenis
yaitu emosional inteligensi, intelektual inteligensi dan spiritual inteligensi.
Emosional inteligensi diaktifkan oleh emosi, intelektual inteligensi dijalankan
oleh nalar atau kognitif seseorang. Sedangkan spiritual inteligensi dijalankan
oleh spiritual yang baik dari diri seseorang. Dari ketiga kecerdasan tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan saling berhubungan satu
sama lain dalam aplikasi di kehidupan dan dunia pendidikan.
Memiliki kecerdasan intelektual tinggi
tanpa adanya kecerdasan emosional akan membawa dampak yang buruk. Selain itu,
adanya kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang baik tanpa ada kecerdasan
spiritual yang baik akan berdampak yang buruk pula. Melihat kondisi tersebut, kecerdasan
spiritual sangat penting dalam aplikasinya di kehidupan dan dunia pendidikan.
Terlihat jelas bahwa kecerdasan
spiritual dapat memfungsikan kecerdasan yang lain. Untuk dapat memiliki SQ dibutuhkan
pendidikan yang tidak hanya memperhatikan pengembangan IQ melainkan
pengembangan EQ dan SQ sekaligus.
B.
Saran
Berdasarkan simpulan diatas, penulis
memberikan saran kepada para pembaca bahwa kita perlu memiliki kecerdasan
intelektual yang tinggi, namun kita perlu memperhatikan kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual kita. Kecerdasan spiritual menjadi landasan dalam
mejalankan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Dengan memiliki
kecerdasan spiritual yang baik, maka sebagai seorang pelajar akan dapat
mengembangkan kecerdasan lainya sesuai dengan sila yang baik.
Rekan-rekan pembaca yang baik, selain
dari saran tersebut penulis menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan
agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dalyono.2010.
Psikologi Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta.
Desmita.2006.Psikologi Perkembangan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Goleman,Daniel.2000.
Kecerdasan Emosional. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Umum.
Islamudin,Haryu.
2012. Psikologi Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
R.Meyer,Henry.2011.Emotional Intelligence-Cara Humanis Memimpin
Bisnis. Bandung: Nuansa.
Santrock,
John W. 2010. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Steven S. Stein,
dan Howard E. Book, Ledakan EQ:15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional meraih
Sukses, Terj. Trinada Rainy Januarsari dan Yudha Murtanto, Bandung: Kaifa,
cet: 4, 2003, h. 32.
Sukidi.2004.Rahasia Sukses Hidup Bahagia.Kecerdasan Spiritual. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Umum.