Rabu, 02 Desember 2015

Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Modern

Hubungan Agama Buddha dengan Ilmu Pengetahuan Modern
Novita Sari
Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Jinarakkhita
Bandar Lampung

Abstrak
Agama Buddha merupakan agama yang memiliki ajaran kebenaran yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gautama. Sedangkan ilmu pengetahuan modern merupakan pada jaman modern yang menampilkan penemuan-penemuan dengan landasan teori modern pula dan analisis bersistem terhadap data lapangan tertentu. Ilmu pengetahuan modern dengan agama Buddha memiliki hubungan yang khas. Hubungan ini terlihat pada relevansinya antara ilmu pengetahuan dengan ajaran Buddha, yang dapat dilihat dari tiga wilayah yaitu mengenai astrofisika mengenai perkembangan alam semesta, ilmu fisika serta cara kerja otak/ilmu syaraf, yang berdasarkan analisa dan penelitian. Selain itu, berbagai relevansi terlihat dari segi sumber dari ilmu serta ajaran Buddha itu sendiri.

Kata kunci : Agama Buddha, Ilmu pengetahuan Modern.

A.       Sejarah Agama Buddha dan Ajarannya
Berkembangnya agama Buddha di awali dari guru Agung Buddha Gautama. Beliau yang lahir dalam keluarga Suku Sakya menjadi Buddha demi membantu semua makhluk untuk mencapai pencerahan, yang diawali dari beliau sendiri. Beliau mengajarkan ajaran yang didapat, yang diketahui melalui praktik yang di lalui dalam meditasi-Nya. Beliau mengajarkan ajaran tersebut kepada para siswa-Nya untuk membantu mencapai pencerahan, dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kondisi pribadi masing-masing orang. Karena Sang Buddha mampu mengetahui kondisi pikiran yang sedang dialami oleh para siswa-Nya, dan mampu melihat kapan tiba saatnya beliau memberi ajaran dan tercapainya pencerahan bagi siswa-Nya.
Pencapaian pencerahan dapat diperoleh bila benar-benar mampu memahami isi ajaran yang Sang Buddha sampaikan. Buddha menguraikan kebenaran-kebenaran (Dhamma) tentang perubahan (Anicca), dukkha dan tanpa jiwa (Anatta) lebih dari 2500 tahun yang lalu. Selain itu, Sang Buddha memberikan ajaran yaitu tidak melakukan kejahatan, perbanyaklah perbuatan bajik, sucikan hati dan pikiran, inilah ajaran para Buddha (Dhp. XIV:183). Ajaran ini menjadi inti sari dari ajaran Buddha.
Ajaran ini bersifat universal yaitu setiap orang boleh mempelajari ajaran Buddha, tidak melihat ras, sistem kepercayaan lain, tidak memihak kepada siapa pun dan benar-benar bersifat universal. Ajaran Buddha adalah ajaran yang tinggi, telah sempurna dibabarkan oleh Bhagava, harus dibuktikan, diselami oleh para bijaksana, dan mampu menuntun ke arah pembebasan. Selain itu, ajaran Sang Buddha merupakan ajaran yang mengandung kebijaksanaan yang harus dibuktikan dengan cara ehipasiko (datang, lihat dan buktikan).
Melalui praktik inilah, ajaran Buddha mampu memberikan bukti akan kebenaran ajaran Buddha. Bukti nyata yang mampu diterima dalam ajaran Buddha ini dapat berupa ajaran pembebasan dari dukkha. Dimana, dalam kehidupan setiap manusia terdapat sebuah penderitaan, untuk itu dengan upaya melakukan pembuktian secara langsung, maka akan mampu mengetahui secara jelas akan kebenaran dari ajaran Buddha.

B.       Pengertian Ilmu Pengetahuan Modern
Ilmu pengetahuan menurut KBBI (2003:372), yaitu gabungan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab dan akibat; ilmu pengetahuan adalah ilmu yang berhubungan dengan biologi, fisika dan kimia. Sedangkan ilmu pengetahuan modern menurut KKBI (2003:372) adalah ilmu pengetahuan pada jaman modern yang menampilkan penemuan-penemuan dengan landasan teori modern pula dan analisis bersistem terhadap data lapangan tertentu. Jadi, ilmu pengetahuan modern lebih mengkaji terhadap penemuan baru dan menekankan pada penelitian dan analisa.
Terdapat bidang-bidang ilmu pengetahuan yaitu bidang ilmu biologi memperlajari tentang ilmu perkembangan makhluk hidup, ilmu fisika mempelajari tentang bumi misalnya grafitasi bumi sedangkan ilmu kimia mempelajari tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah benda misalnya perubahan sumbu lilin yang telah di bakar.
Ilmu pengetahuan dapat diartikan secara luas sebagai sebuah ilmu yang mempelajari alam semesta beserta isinya serta kasus atau peristiwa yang terjadi di alam semesta ini dengan berbagai kejadian-kejadian yang di atur oleh alam. Bekerjanya ilmu pengetahuan di dasari oleh suatu analisa, yaitu penyelidikan secara teliti terhadap setiap gejala dan mengkaji setiap bagiannya, serta berusaha untuk menemukan bagaimana timbulnya gejala itu.

C.      Hubungan Agama Buddha dengan Ilmu Pengetahuan Modern
Agama Buddha dan ilmu pengetahuan telah dikemukakan banyak ahli memiliki hubungan yang erat. Karena pada dasarnya, ilmu pengetahuan merupakan bagian dari agama dan agama bagian dari ilmu pengetahuan. Terdapat banyak ilmu pengetahuan yang sepadan dengan agama Buddha.
Kesepadanan tersebut dapat dilihat dari perkembangan iptek, ilmu biologi, ilmu fisika serta dalam kaitannya dengan alam semesta in. Namun, adanya kesepadanan tersebut, terdapat pula perbedaannya. Jose Ignacio Cabezon, seorang profesor pakar Buddhisme Tibetan dan Cultural Studies dari University of California (Cabezon, dalam artikel yang ditulis oleh Willy) pernah mengemukakan bahwa Buddhisme dan ilmu pengetahuan memang tidak serupa, tidak mirip, namun keduanya saling melengkapi.
Menurut Cabezon, ilmu pengetahuan berkenaan dengan dunia eksterior, sementara Buddhisme dengan dunia interior. Ilmu pengetahuan berurusan dengan materi, sedangkan Buddhisme dengan batin. Ilmu pengetahuan adalah perangkat keras, sedangkan Buddhisme adalah perangkat lunaknya. Ilmu pengetahuan bersifat rasional, sedangkan Buddhisme bersifat eksperiansial, ilmu pengetahuan bersifat kuantitatif, sedangkan Buddhisme kualitatif.
Berdasarkan adanya perbedaan tersebut tidak menjadi pertentangan, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan bagian dari ajaran Buddhisme. Seperti yang dikatakan oleh Eisntein bahwa meskipun ranah agama dan ilmu dalam dirinya memisahkan diri satu sama lain, namun diantara keduanya ada hubugan timbal balik serta ketergantungan yang benar. Situasi itu dapat diungkap melalui suatu gambaran bahwa ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta (Einstein, 2004:177). Jadi, dengan demikian setiap agama memiliki kesesuain dengan ilmu pengetahuan termasuk agama Buddha itu sendiri.
D.      Relevansi Agama Buddha dengan Ilmu Pengetahuan Modern
Agama Buddha menjadi salah satu agama yang memiliki kesamaan dengan ilmu pengetahuan. Percakapan yang dilakukan oleh filsuf dan penanya mengenai relevansi agama Buddha dan ilmu pengetahuan dari arsip buddhis Berzin, (1988, ia menjelaskan bahwa hubungan yang khas selama ini berpusat pada tiga wilayah. Pertama, astrofisika yang utamanya berkenaan dengan bagaimana semesta berkembang. Topik lainnya adalah fisika partikel, yang berhubungan dengan bangunan atom dan zat. Ketiga, ilmu-ilmu saraf, yakni tentang cara otak bekerja. Ketiganya adalah wilayah-wilayah utama.
Wilayah astrofisika merupakan penjelasan berkenaan dengan bagaimana alam semesta berkembang. Pendapat fisikawan terkemuka Profesor Stephen Hawking (Stephen Hawkings, 2012 dalam artikel yang diterbitkan oleh Hernawan) menyatakan bahwa tidak diperlukan sesosok Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Alam semesta tercipta karena adanya proses tersendiri. Proses terciptanya alam semesta dijelaskan dalam banyak teori. Teori yang telah diterima oleh masyarakat dan ilmu pengetahuan ialah teori Big Bang.
Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya bumi berawal dari puluhan milyar tahun lalu yang diawali dengan adanya gumpalan kabut raksasa yang meledak keluar angkasa sehingga membentuk galaksi dan nebula. Nebula-nebula ini yang kemudian membeku sehingga membentuk sebuah galaksi yaitu galaksi Bima Sakti dan terbentuknya sistem tata surya. Bagian ledakan kecil yang keluar tadi mengalami kondensasi yang mendingin dan membentuk bumi dan planet lainnya. Hal ini jelas bahwa alam semesta ini tercipta karena suatu proses bukan diciptakan oleh Tuhan.
Penciptaan yang dikemukakan dalam teori Big Bang memiliki relevansi dengan Buddhisme. Proses ini dijelaskan dalam Agañña Sutta bahwa bumi tercipta dengan rentang waktu yang sangat lama. Diawali dengan adanya makhuk-makhluk di alam abhasara yang kemudian mencicipi sari tanah, dan tumbuh-tumbuhan yang muncul dalam waktu yang lama sehingga tubuh menjadi padat, terlihat bentuk jenis kelamin, dan saat itu pula terlihat cahaya matahari, bulan, dan bintang. Muncul pergantian waktu siang dan malam serta pergantian musim. Sejak saat itulah bumi dan seluruh isinya terbentuk (D. III:27).
Selain dari wilayah astrofisika, wilayah pengetahuan fisika mengenai partikel atom yang berhubungan dengan konsep anatta dalam ajaran Buddha juga menunjukkan bahwa segala sesuatu tidak mempunyai inti yang kekal. Sama seperti partikel atom bahwa tidak dapat dikatakan bahwa atom adalah sebuah yang tampak terlihat jelas dalam kasat mata. Atom membentuk partikel-partikel elementer, membentuk suatu dunia potensialitas atau kemungkinan-kemungkinan ketimbang dunia benda-benda atau fakta-fakta kita (Heinsberg, dalam McFarlane, 2004: 123). Jadi, dengan demikian jelas bahwa atom tidak memiliki inti yang jelas seperti konsep anatta, bahwa atom ini yang mampu membentuk partikel lain. Konsep ini jelas memiliki kesamaan dalam konsep anatta.
Konsep atom tersebut bila dianalisa kembali memiliki keterkaitan dengan konsep paticcasamuppada yaitu memiliki hubungan satu sama lain. Artinya, dari contoh tersebut adanya atom akan menjadi partikel lain yang terbentuk, sehingga dari setiap atom itu menjadi sebab adanya partikel lain. Seperti yang dikatakan oleh Heinsberg bahwa setiap partikel terdiri dari semua partikel lain. Dikatakan bahwa proton terdiri dari tiga partikel kecil. Dapat dikatakan pada suatu saat bahwa ia untuk sementara waktu terdiri dari tiga kuark, dan menjadi empat kuark, dan satu antikuark, atau lima kuark dan seterusnya (Heinsberg, dalam McFarlane, 2004: 136).
Lebih dijelaskan oleh Cheng Chien bahwa setiap fenomena memuat fenomena lainnya dan setiap fenomena memuat keseluruhan segenap fenomena lainnya. Artinya, segala sesuatu itu memiliki hubungan saling ketergantuangan satu sama lain. Hal ini yang sesuai dengan ajaran Buddha dalam paticcasamupada.
Wilayah ketiga yaitu mengenai ilmu syaraf yang mempelajari mengenai cara kerja otak. Ahli saraf dan pengikut Buddha mencatat adanya hubungan kemunculan yang bertalian di antara berbagai hal. Sesuatu itu ada (exist) bergantung pada si pengamat dan kerangka pola pikir yang digunakan oleh orang tersebut untuk melihatnya. Terutama dalam pikiran seseorang.
Sebagai contoh, ketika ahli saraf meneliti otak dalam usaha menemukan apa yang menentukan keputusan kita, mereka menemukan tidak ada “pembuat keputusan” yang terpisah di dalam otak. Tidak ada orang kecil bernama “aku” yang duduk di dalam kepala, yang menerima informasi dari mata, telinga, dan seterusnya seperti yang ada di layar komputer, dan membuat keputusan dengan menekan sebuah tombol sehingga lengan melakukan ini dan kaki melakukan itu. Melainkan, keputusan adalah hasil dari hubungan-hubungan berseluk-beluk dari jejaring daya gerak saraf dan proses kimia serta listrik yang sangat besar.
Bersama-sama, mereka membawa hasil yaitu sebuah keputusan. Hal ini terjadi tanpa adanya suatu kesatuan yang terpisah yang disebut pembuat keputusan. Ajaran Buddha menekankan hal yang sama yaitu tidak ada “aku” yang tetap dan kokoh duduk di dalam kepala yang membuat segala keputusan. Ketika hati berkata, “Aku mengalami ini, aku melakukan itu,” tapi kenyataannya yang terjadi adalah hasil dari hubungan rumit di antara banyak unsur berbeda. Ilmu pengetahuan dan ajaran Buddha sangat dekat dalam hal ini.
Psikologi modern juga mengindikasikan bahwa pikiran atau kesadaran sama seperti tubuh jasmani yang berkerja berdasarkan hukum alamiah dan sebab akibat tanpa disertai roh permanen yang berdiri sendiri menguasai semua aktifitasnya (Sandi Setiawan dalam Wijaya Mukti, 2003:291). Artinya, pikiran atau kesadaran seseorang bekerja tidak diatur oleh apapun, pikiran bekerja berdasarkan alur pikiran itu sendiri. Contohnya, ketika seseorang memiliki kesadaran yang baik untuk bekerja, maka secara alamiah badan jasmani ini akan mengikuti alur kesadaran yang ada yaitu bekerja.
Hal demikian selaras dengan ajaran Buddha yang dijelaskan dalam kitab Abhidhamatasanggaha bahwa kesadaran disebut sebagai citta. Citta merupakan kesadaran/pikiran yang memegang objek (Kaharudin, 2005:7). Sedangkan objek dari citta adalah cetasika. Cetasika mengkondisikan seseorang melaksanakan aktifitas sesuai dengan yang dikehendaki. Misalnya, dalam pikiran terdapat cetasika yaitu viriya (semangat), maka kesadaran/pikiran mengkondisikan diri untuk bersemangat dalam melakukan perbuatan yang dikehendaki (Kaharudin, 2005:130). Jadi, antara citta dan cetasika mengkondisikan jasmani ini untuk melakukan tindakan yang dikehendaki.
Selain dari ketiga wilayah tersebut, masih banyak aspek ilmu pengetahuan yang memiliki kesesuian dengan ajaran Buddha, misalnya epistemologi. Epistemologi menekankan pada sikap menghargai kebebasan berpikir dalam menyelidiki asal, sumber-sumber, metode dan keabsahan pengetahuan (Wijaya Mukti, 2003:9). Sumber ilmu dalam aliran epistemologi terdapat tiga jenis aliran yaitu aliran rasionalis, empiris dan kritis.
Aliran rasionalis menyandarkan diri bahwa pengetahuan bersumber dari akal atau rasio dan metodologinya menekankan pada pembuktian suatu ilmu pengetahuan. Aliran empiris menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sejati merupakan pengalaman. Aliran ini menggunakan metodologi dengan jalan deduksi dan pengamatan. Kemudian, aliran kritis berupaya mendamaikan pendirian rasionalisme dan empirisme. Jadi, dari ketiga aliran ini dapat disumpulkan bahwa epistemologi mendorong seseorang untuk mampu melakukan pembuktian dan pengamatan terhadap ilmu pengetahuan, tidak hanya diterima begitu saja. Harus diteliti terlebih dahulu sumber asal dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.
Berdasarkan ketiga aliran ini memiliki relevansi dengan aliran para pemikir di India sebelum adanya Sang Buddha, yaitu adanya aliran eksperiensialis yang menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan berdasarkan pengetahuan serta pengalaman secara langsung (Wijaya Mukti, 2003:10). Aliran ini sesuai dengan Sang Buddha, karena beliau merupakan kaum atau aliran eksperiensialis yaitu mengetahui secara langsung ajaran berdasarkan pengalaman yang dirasakan. Artinya, pengetahuan tersebut diamati dan dibuktikan secara langsung.
Hal ini juga sesuai dengan epistemologi Buddhis yang dijelaskan oleh Sariputra bahwa sumber ilmu diperoleh (pengertian yang benar) diperoleh dari kesaksian orang lain dan perenungan secara bijaksana (M. I, 294 dalam Wijaya Mukti:17). Artinya untuk memperoleh pengetahuan yang baik perlu menekankan pola berpikir secara kritis terhadap suatu pengetahuan untuk melakukan analisa terhadap pengetahuan yang diperoleh.
Analisa itu dilakukan dengan melakukan perbandingan antara ilmu pengetahuan dengan yang dialami dalam kehidupan sehari- hari (sesuai dengan aliran ekspriensialis). Contohnya analisa mengenai asumsi bahwa terdapat dukkha (penderitaan) yang terdiri dari rasa sakit, kesusahan dan kesengsaraan, dan asumsi bahwa segala sesuatu tidak memandang apa yang sedang kita bicarakan, yang semua itu memiliki sebab. Sebab dari dukkha yang dialami oleh seseorang diteliti sendiri dengan melakukan analisa dengan menanyakan apa yang menyebabkan menderita. Sehingga akhirnya, seseorang mengetahui sebab penderitaan yang dirasakan.
Contoh lain hubungan yang telah di teliti berdasarakan riset yang dilakukan oleh Ormond McGill bersama Irvin Mordes spesialis di bidang hipnoterapi kehidupan lampau ( Past Life Hynotherapy), bahwa tumimbal lahir benar –benar ada dengan melakukan hipnosis. Riset ini dilakukan di Maryland Psychiatric Center pada tahun 1974. Riset ini tertulis dalam buku yang berjudul “The Many Lives of Alan Lee” (Hendra, 2009 dalam http://hendrath-jmr.blogspot.co.id/2009/12/filosofi-ajaran-buddha.html), dan berisikan tentang 16 kehidupan lampau dari Alan Lee. Saat diregresi ke kehidupan lampaunya dalam kondisi hipnosis, subjek mampu menulis dan berbicara dengan sangat fasih sesuai dengan bahasa pada kehidupan lampaunya, dan bukti-bukti autentik telah di validasi oleh tim riset.
Berdasarkan hal demikian, jelas bahwa ajaran Buddha mengajarkan untuk melakukan analisa terhadap segala ajaran yang ada dalam kehidupan. Hal ini nampak seperti yang dijelaskan dalam Kalama Sutta. Sang Buddha menjelaskan pada kaum Kalama untuk tidak percaya begitu saja terhadap berita yang didengar, tradisi, kebiasaan turun temurun, ucapan yang dikatakan oleh orang ahli, terhadap mitos-mitos, terhadap para guru bahkan Sang Tatagata sekalipun, melainkan harus di uji terlebih dahulu kebenaran dari ajaran tersebut. Seperti yang dikatakan pula oleh Ven. Rahula yaitu:
Agama Buddha adalah selalu merupakan pertanyaan tentang pengetahuan dan pembuktian; bukan tentang kepercayaan. Ajaran Sang Buddha memenuhi syarat sebagai Ehi-Passiko, mengundang anda untuk datang dan membuktikan, bukannya datang dan percaya” (Ven. Dr. W. Rahula, dalam Dhammananda, 1992).

Inilah keistimewaan agama Buddha yang mampu memiliki kesesuaian dengan ilmu pengetahuan modern dan menjadi agama yang besar dalam dunia modern. Albert Einsten juga menegaskan bahwa agama yang mampu mengatasi kebutuhan ilmiah modern merupakan agama Buddha. Selain itu, agama masa depan adalah agama Buddha, agama kosmis yang mampu melampaui sesosok Tuhan personal serta menghindari dogmatisme, teologi, mencangkup alam dan spiritual (Einstein, dalam Dhammananda, 1992).  ).
Selain pendapat Einstein, terdapat seorang intelek dunia  mengatakan dalam buku yang dikomplikasi oleh Ven. Sri Dhammananda yang diterbitkan oleh Mutiara Dhamma, yaitu :
“Dokrin Buddha Dhamma yang ada dewasa ini tidak terpengaruh oleh perjalanan waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan, dan masih tetap seperti ketika petama kali Ia ucapkan. Tidak peduli seberapa jauh pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala mental seseorang, di dalam kerangka kerja Dhamma terdapatlah ruang untuk penerimaan dan asimilasi terhadap penemuan yang lebih jauh / baru. Ia tidak bergantung kepada konsep – konsep terbatas dari pikiran – pikiran yang primitif / kuno juga tidak pada kekuatan pikiran yang negatif” (Francis story, “Buddhisme as World Religion” dalam  Dhammananda, K. 1992 ).

E.       Pengaruh memiliki Pengetahuan tentang Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan Modern terhadap Sikap Seorang Buddhisme
Semakin banyaknya ilmu pengetahuan yang dimiliki, maka semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang. Semakin banyak ilmu yang dimiliki, semakin baik tingkat kecerdasan seseorang. Dengan kecerdasan yang dimiliki, maka akan lebih mudah memahami ajaran Buddha. Dengan mampu memahami ajaran Buddha, maka akan semakin mengerti dan mempraktikannya. Praktik inilah yang memberi sumbangsih besar terhadap pengaruhnya bagi seorang buddhisme.
Pengaruh ilmu pengetahuan terhadap sikap seorang Buddhime lebih menyumbangkan pada sikap menghargai terhadap kehidupan. Karena, pada dasarnya ajaran Buddha menekankan pada sikap welas asih dan kasih kasih terhadap semua makhluk. Seseorang yang belajar ilmu mengenai perkembangan makhluk hidup dimana terdapat sel-sel dalam tubuh berkembang dan pasti akan mati, maka ia akan menghargai adanya perubahan yang terjadi dalam jasmani (Anicca).
Kemudian, bila mempelajari ilmu mengenai pembuahan dan kromoson, maka akan menghargai antara laki-laki dan perempuan serta akan berusaha untuk tidak melanggar sila buddhis. Pengaruh yang paling penting ialah dengan ilmu pengetahuan yang ada mampu menuntun setiap manusia untuk hidup lebih baik (Wijaya Mukti, 2003:294).

Daftar Rujukan
Berzin, Alexander dan Chodron, Thubten. 1999. Ajaran Buddha dan Ilmu Pengetahuan. Dalam artikel yang dimuat dalam arsip Buddhis Berzin dalam http://www.berzinarchives.com/web/id/archives/approaching_buddhism/world_today/buddhism_science.html. Diakses pada 22 September 2015, pada pukul 14.00 PM. Singapura: Amitabha Buddhist Centre.
Dhammananda, Sri. 1992. Agama Buddha di Mata Para Intelek Dunia. Pada  Mutiara Dhamma edisi ulang tahun ke tiga dalam bentuk Pdf. Di akses pada 01 Oktober 2014 pada pukul 18:36 WIB.
Hendra. 2009. Pada makalah yang berjudul Filosofi Ajaran Buddha dalam http://hendrath-jmr.blogspot.co.id/2009/12/filosofi-ajaran-buddha.html. di akses pada 23 November 2015 pada pukul 10.00 WIB.
Kaharudin, Jinaratana. 2005. Abhidhammattasangaha. Jakarta: CV. Yanwreko Wahana Karya.
Kirthisinghe, Buddhadasa. 2004. Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta:BPB Arya Suryacandra.
McFarlane, Thomas J. 2004. Einstein dan Buddha. Yogyakarta:Pohon Sukma.
Tim penyusun. 2012. Buddhisme dan Sains. Dalam buku kumpulan perlombaan penulisan artikel yang ditulis oleh Willy Yandi Wijaya. Dalam bentuk pdf  di akses pada 01 Oktober 2014 pada pukul 18:36 WIB. Bandung: Pemuda Vihara Vimala Dharma.
Tim penyusun. 2013. Dhammapada. Jakarta : Ehipasiko Foundation.
Wijaya Mukti, K. 2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.

Senin, 06 Juli 2015

Spiritualitas Guru



Spiritualitas Sebagai Pemacu Kesuksesan Guru
Terhadap Kegiatan Pembelajaran

Novita Sari
NPM : 13110182
Program Studi Dharma Acharya
Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Jinarakkhita Lampung


Abstrak

Kata kunci : belajar, spiritual guru yang baik.
Tujuan penulisan artikel ini adalah menjabarkan tentang spiritualitas guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran guru memiliki peran penting. Karena seorang guru menjadi pemimpin dalam kegiatan belajar. maka, seorang guru harus pandai dalam intelektualitas maupun spiritualitas. belajar memiliki arti usaha menambah pengetahuan serta merubah perilaku menjadi lebih baik. maka, seorang guru harus pandai dalam segala bidang sehingga akan mempermudah mentransfer ilmu yang dimiliki. Selain itu juga, seorang guru harus memiliki spiritualitas yang baik. Dengan spritualitas yang baik, seorang guru akan melakukan pembelajaran sesuai dengan norma atau sila. Sehingga hasil yang didapat selain pengetahuan umum, murid pun perubahan sikap yang baik. Tsentunya perubahan sikap tersebut berupa hasil cermin diri dari seorang guru.


Pendidikan merupakan merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk menolong seseorang belajar dan bertanggung jawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat (Wijaya Mukti, 2003:304). Proses pendidikan berupa kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan belajar yang dilakukan antara guru dan murid. Belajar memiliki arti proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan (Howard L. Kingsley dalam Abu Ahmadi dan  Supriyono, 2013:127). Belajar merupakan upaya seseorang menambah pengetahuan.

Ilmu pengetahuan yang benar sebagaimana ajaran agama, dikembangkan berdasarkan manfaat atau tujuan yang baik. Buddha mengatakan apa yang telah diajarkan-Nya hanya sebagian kecil dari pengetahuan-Nya (S. V,437). Namun, untuk menguasai ajaran tersebut, orang harus banyak belajar. “Orang yang hanya belajar sedikit akan menjadi tua seperti sapi jantan. Dagingnya bertambah, tetapi kebijaksanannya tak berkembang” (Dhp. 152).
Belajar akan memberikan perubahan yang lebih baik dengan upaya melatih kemampuan yang dimiliki. Melatih kemampuan ini diimbangi dengan semangat yang baik untuk maju dan berkembang. Semangat untuk belajar banyak diawali dari niat berupa motivasi yang baik. Keinginan untuk belajar akan meningkatkan pengetahuan (Thera Gāthā 141 dalam Panduan Tripitaka hal i). Tentunya dengan usaha yang sungguh-sungguh. “Suatu pekerjaan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, aturan yang tidak ditaati, kehidupan suci yang dijalani penuh keragu-raguan semuanya tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan (Dhp. XXII:312)”.

Berdasarkan pengertian belajar tersebut, sebagai seorang guru harus mampu mengerti arti belajar sesungguhnya. Seorang guru pun harus bisa menggunakan usaha yang baik dalam menjalankan tugas dalam kegiatan pembelajaran. Sehingga nantinya hasil belajar akan dapat dirasakan dengan baik oleh para murid. Karena hasil belajar yang memuaskan dapat dicapai bila terjalin hubungan antara guru dan murid. Maka, guru dan murid harus memiliki keselarasan dalam proses belajar dan aspek spiritual yang sama.

Peran Spiritualitas Guru Terhadap Kegiatan Pembelajaran
Manusia membutuhkan goal portofolio tiga dimensi untuk mengukur dirinya sendiri dalam tiga lapisan yakni materi, intelektual dan spiritual (Pratikno, 2012 dalam Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran). Spiritual dapat dideskripsikan sebagai sebuah praxis kebebasan, sebuah cara untuk hidup dengan berkonsentrasi pada proses menemukan diri kita dan bagaimana ingin berbuat. Spiritualitas berhubungan dengan moralitas. Moralitas memiliki makna bagaimana seseorang bertindak sehubungan dengan tujuan hidupnya. Menurut Bertens dalam Wijaya Mukti, sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Baik dan buruk tindakan yang dilakukan oleh seseorang, merupakan cerminan seberapa tinggi tingkat spiritual yang dimiliki.

Spiritualitas sebagai tingkat kesadaran seseorang dalam bertindak. Spiritual yang baik, memacu tindakan seseorang untuk berupaya melakukan hal-hal yang baik terutama dalam belajar. Selain itu, akan mampu menjalankan kegiatan belajar tanpa adanya upaya yang menyimpang. Spiritual ini tidak hanya murid yang penting memiliki, namun sebagai seorang guru hendaknya memiliki spiritual yang baik.

Guru sejati selain memiliki kemampuan dalam intelektual, ia harus memiliki spiritual tinggi. Dengan memiliki spiritual tinggi maka dapat dikatakan telah memiliki kecerdasan spiritual yang baik. Kecerdasan spiritual ini menjadi puncak kecerdasan. Artinya, kecerdasan spiritual menjadi landasan untuk menjalankan kecerdasan yang lain. Seorang guru yang hanya pandai dalam intelektualnya, belum tentu akan sukses dalam mengajar. Karena tanpa adanya spiritual, guru hanya memberi pengetahuan apa adanya tanpa memberikan aspek nilai yang baik berupa norma dan sikap dalam melakukan kegiatan pembelajaran.

Seperti yang dituliskan dalam Lohicca Sutta (dalam U Ko Lay, 2000:51) guru yang terpuji adalah guru yang telah sepenuhnya terampil dalam tiga praktek yaitu moralitas, konsentrasi, pengetahuan dan mengajar siswa-siswa untuk menjadi sepenuhnya mantap seperti dia. Sebagai guru sejati, ia harus menjalankan tugas yang diemban dengan baik. Ia harus mampu berupaya memberikan pengetahuan yang terbaik untuk anak didiknya. Guru memiliki tugas mentransfer informasi atau pengalaman kepada peserta didik sesuai dengan tujuan yang akan dicapai ( Daryanto, 2012 : 171). Segala informasi dan pengetahuan yang dimiliki akan sekuat tenaga diberikan untuk murid-muridnya.

Guru bukan hanya memberikan pengetahuan berupa intelektual semata. Seorang guru membimbing dan menjadi perantara peserta didik untuk mencapai kedewasaan (Daryanto, 2012:171). Selain itu, seorang guru juga membantu perkembangan aspek-aspek pribadi seperti sikap dan nilai serta penyesuaian diri (Abu Ahmadi dan Supriyono, 2013:105). Artinya seorang guru menjadi teladan yang baik bagi murid-muridnya. Maka hendaknya guru memiliki spiritual yang baik. Seorang guru yang memiliki spiritual yang baik, dapat tercermin dari sikap kebijaksanannya. Ia akan bertindak sesuai norma dan sila yang sesuai. Segala perilaku, tindakan yang dimunculkan senantiasa memberikan manfaat bagi lingkungan dan muri-muridnya.

Guru Buddha senantiasa menunjukkan kebijaksanaanya terhadap murid-murid-Nya. Meskipun suasana yang mencengkam, beliau senantiasa menunjukkan kebijaksanaan dihadapan para murid-Nya. Seperti kisah Cinca Manawika. Seorang gadis penghibur yang memfitnah Guru Buddha dihadapan murid-murid-Nya. Namun, beliau senantiasa menunjukkan sikap tenang dan bijak.

Sebagai guru yang memiliki spiritual baik, maka ia mampu memberikan bimbingan berupa nilai moral dan sikap yang baik. Guru senantiasa memberikan pembelajaran yang bermanfaat, bukan untuk menjerumuskan murid-mudirnya. Sehingga, murid akan memiliki pengetahuan yang baik serta memiliki perilaku yang baik dan dapat menjaga diri dari perilaku yang salah.

Implementasi spiritual yang baik dalam kegiatan pembelajaran yaitu ketika seorang guru melaksanakan kegiatan belajar, guru akan melakukan tugasnya dengan penuh ketenangan dan kebijaksanaan. Guru yang baik ia akan mengajar siswa dengan sepenuhnya mantap seperti dia (Wijaya Mukti, 2003:322). Guru akan memperhatikan murid dengan penuh kasih sayang yaitu tidak membeda-bedakan murid satu sama lain. Selain itu, dalam penyampaian pembelajaran, seorang guru senantiasa menunjukan sikap wibawa, berucap sesuai nilai sosial, dan senantiasa menunjukkan sikap yang sesuai dengan nilai –nilai moral.

Seorang guru yang bersikap demikian, maka secara tidak langsung murid pun akan dapat mengikuti kegiatan belajar dengan tenang dan nyaman. Karena transfer pengetahuan dilaksanakan dengan cara yang sesuai. Sehingga proses belajar pun dapat berjalan dengan baik. Selain itu, para murid akan mencotoh perilaku baik yang dimiliki oleh guru. Maka, hasil belajar yang didapatkan berupa cerminan perilaku yang baik dan hasil belajar berupa pengetahuan yang baik.

Kesimpulan

Spiritual merupakan sikap baik seseorang dalam bertindak. Spiritual yang baik sangat diperlukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Guru yang memiliki spiritual yang baik, ia akan senantiasa mengarahkan muridnya kepada hal-hal yang baik. selain itu, dengan memiliki spiritual yang baik, proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, karena, guru selalu menunjukan sikap dan perilaku yang baik dalam proses belajar. Misalnya, ketika mengajar guru selalu bertutur kata yang baik, memperlakukan siswa dengan baik, tidak menyakiti batin serta fisik siswa ketika belajar.



Daftar Pustaka:
Abu Ahmadi,Haji dan Supriyanto,Widodo. 2013. Psikologi Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.
Daryanto dan Raharjo, Muljo. 2012. Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Gava Media.
Lay, U Ko. 2000. Panduan Tripitaka. Magelang: Vihara Bodhivamsa.
Mahatera, Ven. Narada. 1989. Dhammapada. Bandung: Karaniya.
  Pratikno, Heri. 2012. Motivasi Spiritual Dan Budaya Sekolah Berpengaruh Terhadap Kinerja Profesional Dan Perilaku Konsumsi Guru Ekonomi. Dalam Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. Volume 19, No. 1. Malang : Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas Negeri Malang. Indonesia.
Wijaya Mukti, Khrisnanda. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan.



Selasa, 30 Juni 2015


Manfaat Meditasi Bagi Otak Dalam Belajar

Novita Sari

Program Studi Dharma Acharya

Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Jinarakkhita

Bandar Lampung

2015





A.      Pendahuluan

Belajar merupakan proses menggali kemampuan serta bakat yang dimiliki. Kemampuan ini menjadi berkembang bila proses belajar dilaksanakan sebaik mungkin. Proses belajar yang baik dapat berkaitan dengan belajar kondusif. Artinya, dengan kegiatan belajar yang kondusif, maka proses dalam belajar tiap-tiap individu pun baik. Karena pada dasarnya keefektifan belajar serta kekondusifan menjadi pengaruh besar dalam kegitan belajar.

Kelas yang kondusif maka proses belajar pun menjadi kondusif dan efektif. Namun, bukan hanya kelas yang menjadi tolak ukur keefektifan siswa dalam proses belajar. proses belajar berjalan dengan baik didukung pula oleh kemampuan berpikir seseorang. Maksudnya adalah kemampuan seseorang dalam berkonsentrasi saat belajar berlangsung. Konsentrasi ini ada jika kondisi otak baik. Maka, dalam belajar kondisi otak yang baik sangat mendukung proses belajar sekaligus hasil yang didapat.

Kondisi otak yang baik disini dimaksudkan bahwa adanya komunikasi yang baik antara pikiran dengan tindakan yang dilakukan. Pikiran yang baik ada saat kegiatan belajar berlangsung. Misalnya, ketika guru menjelaskan sebuah materi, ternyata kondisi otak kurang baik, maka ia tidak akan fokus dengan materi. Hanya masuk dan tak bisa di terima dengan baik. Untuk itu, ketika hendak belajar usahakan berada pada kondisi otak serta pikiran yang baik.

Terdapat cara yang sesuai untuk mengkondisikan pikiran untuk konsentrasi dalam belajar yaitu dengan cara bermeditasi. Meditasi ini memberikan sumbangsih yang besar bagi keseimbangan otak. Dengan syarat, harus mampu melaksanakan meditasi ini dengan baik sesuai tata cara yang telah ada. Dengan hal ini, akan dibahas mengenai pengaruh meditasi terhadap otak dalam belajar.



B.       Pembahasan

Pengertian Otak

Otak merupakan bagian utama manusia. Dengan adanya otak manusia akan dapat bekerja, berpikir dan bertindak dengan baik. Karena, otak merupakan bagian tubuh yang berfungsi sebagai monitoring kerja tubuh. Otak terdiri dari dua bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Otak kanan (Hemisfer kanan otak) memiliki fungsi menerima informasi non verbal, persepsi visual, kreativitas, imajinasi, musik, warna, bentuk, emosi dan untuk ingatan jangka panjang (long term memory). Misalnya, bagi kebanyakan orang belahan otak kanan ini bekerja saat memproses informasi tentang wajah seseorang (O Toole, 2001 dalam Santrock, 2010:45). Otak belahan kanan juga mungkin aktif saat orang mengekspresikan emosi dan saat mereka mengenali emosi orang lain (Heller, dkk, 1997 dalam Santrock, 2010:45).

Otak kiri (Hemisfer kiri otak) menjadi pusat bahasa, terutama berbicara dan tata bahasa. Selain itu otak kiri berkaitan dengan logika, angka, tulisan, kecerdasan, hitungan, analisa, dan untuk ingatan jangka pendek (short term memory). Akan tetapi, bukan berarti bahwa semua proses bahasa dilakukan di otak belahan kiri. Misalnya, pemahaman aspek bahasa seperti penggunaan bahasa yang tepat dlaam konteks yang berbeda-beda, metafora, dan humor juga melibatkan belahan otak kanan

Perbedaan fungsi dari kedua belahan otak tidak menjadikan sebuah hambatan bekerjanya otak. Karena, kedua belahan otak ini bekerja sama dalam melakukan suatu tindakan. Kedua belahan otak ini melakukan komunikasi yang baik ketika melakukan tugasnya dalam berpikir. Misalnya,  ketika otak kanan menerima informasi visual berupa persepsi, otak kiri bekerja dengan proses menganalisia terhadap informasi yang tercerap oleh otak kanan.  Jadi, kedua belahan otak ini memiliki peran yang kuat dalam menjalankan fungsinya untuk menuntun proses berpikir dan belajar seseorang.

Latihan diperlukan agar dapat mengembangkan serta menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan. Salah satu cara tersebut yaitu dengan bermeditasi. Meditasi yang baik dapat membantu menyeimbangkan otak kanan maupun otak kiri. Untuk itu, berlatih meditasi sangatlah baik untuk melatih otak untuk bekerja lebih baik.



Manfaat Meditasi Sebagai Pemberi Energi Yang Baik Pada Otak Dalam Belajar

Belajar merupakan sebuah kewajiban bagi siswa dalam proses pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Belajar memiliki banyak pengertian. Pengertian belajar menurut ilmu psikologi yaitu suatu proses perubahan didalam tingkah laku sebagai hasil interaksi degan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut James O. Whittaker (dalam Abu dan Widodo, 2013:126) belajar didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.

Pengertian belajar dari Howard L. Kingsley (dalam Abu dan Widodo, 2013: 126) yaitu Learning is the process by which behavior (in the broader sense) is originated or changed through practice or training. Artinya, belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang ada menjadi lebih baik. Perubahan ini juga merupakan hasil latihan yang bermula dari proses berpikir. Proses berpikir yang baik terjadi karena proses belajar diimbangi dengan kondisi otak yang baik. Artinya, kondisi otak yang baik sangat mendukung kerja otak dalam berpikir dan belajar. kondisi otak yang dimaksud adalah adanya konsentrasi yang baik. Kondisi otak yang baik karena sering dilatih dengan baik. Cara yang baik adalah dengan melaksankan meditasi.

Meditasi merupakan kegiatan pemusatan pikiran terhadap sebuah objek. Pengertian meditasi menurut KBBI adalah  pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI kamus versi online/daring/dalam jaringan). Artinya, meditasi adalah sebuah upaya memusatkan pikiran untuk mencapai ketenangan dalam pikiran serta harapan yang diinginkan.

Menurut agama Buddha pengertian meditasi itu sendiri adalah pemusatan pikiran terhadap objek yang muncul dalam pikiran. Objek tersebut dapat berupa objek menyenangkan bahkan yang tidak menyenangkan. Tergantung bagaimana seseorang memilih objek yang muncul dalam pikiran masing-masing. Meditasi yang populer dalam Budhisme yaitu Vipasana Bhavana. Meditasi Vipasana merupakan meditasi untuk mencapai pandangan yang terang. Pada meditasi ini, objek yang biasa digunakan adalah napas.

Meditasi ini mengamati keluar masuknya napas, dan belajar untuk terus mengkonsentrasikan pikiran yang muncul sekilas dalam benak pikiran. Mengamati objek lain yang muncul sebagai langkah nyata untuk mengkosentrasikan pikiran. Artinya, dengan memahami terus menerus objek yang muncul, secara langsung mengamati pikiran, dan otak bereaksi dalam hal ini. Berdasarkan sabda Sang Budha, dalam Majjhima Nikaya I, 423 yaitu :

“Kembangkan meditasi dengan meniru air, karena dengan cara itu, kesan menyenangkan dan tidak menyenangkan terhadap sensasi panca indra yang telah timbul dan menguasai pikiran tidak akan bertahan. Seperti orang-orang membersihkan kotoran dan air kemih, air liur, nanah dan darah dengan air, namun air tidaklah terganggu, cemas atau jijik. Karenanya, kembangkanlah meditasi dengan meniru air”.



Berdasarkan hal demikian, meditasi haruslah kita latih dalam keseharian kita. Bermeditasi membantu menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang ada dalam benak pikiran. Selain itu, dengan bermeditasi membantu mengikis sifat buruk. Salah satu contoh yaitu kemalasan yang menyebabkan kebodohan. Manfaat lain dari meditasi akan membantu otak menjadi terus berkonsentrasi dalam belajar, dengan meditasi yang baik dapat membantu lancarnya proses kerja otak. Mengapa demikian? Karena dengan meditasi secara tidak langsung berupaya untuk selalu berkonsentrasi. Seketika itu juga, otak melakukan sebuah terapi atau refresing kembali terhadap hal yang menyebabkan lelahnya kerja otak. Dampaknya otak kembali normal dan pikiran menjadi lebih tenang. Sehingga dalam belajar, akan lebih terkonsentrasi lebih baik.

Bermeditasi, akan mampu membantu menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Selain meditasi Vipasana Bhavana, terdapat meditasi yang biasa dilakukan oleh meditator pada umumnya adalah dengan meditasi Alpa- Tetha.

Meditasi Alpha Theta sangat menarik, karena tidak hanya menghasilkan kombinasi manfaat dari kedua gelombang, tapi juga frekuensi resonansi bumi dan ionosfer masuk dalam rentang kedua gelombang ini, yaitu sekitar 7,8 Hz. Masuk pada kondisi Alpha-Theta adalah untuk "kembali" ke kondisi mental yang dinamis di mana kehidupan berevolusi. Meditasi Alpha –Theta ini juga berkaitan dengan terapi gelombang otak (CV. Karya Abadi).

Terapi Gelombang Otak memanfaatkan alat pengiring berupa musik sebagai objek meditasi. Hal ini mengikuti prinsip fisika Frequency Following Response (FFR), dimana otak secara alami mengikuti frekuensi dari musik terapi tersebut, dan menyeimbangkan kedua belahan otak kiri dan kanan.

Seimbangnya otak kanan dan otak kiri, maka proses berpikir dalam belajar berjalan dengan baik. Karena, proses berpikir dalam belajar membutuhkan keseimbangan otak kanan dan otak kiri. Hal ini dikarenakan kedua belahan otak bekerja secara bersama-sama dalam suatu aktifitas dalam belajar.

Ilmuwan neurosains Steven Hyman (2001) dalam King mengatakan bahwa otak sebagai “penyatu yang hebat”. Artinya otak melakukan tugas yang luar biasa menarik informasi bersama-sama. Suara, penglihatan, sentuhan, merasa, membaui, mendengar, gen dan lingkungan disitu lah otak menyatukan seluruhnya seiring dengan kita berfungsi di dalam dunia kita.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa meditasi memiliki peran penting dalam melatih otak menjadi konsentrasi. Konsentrasi dalam melakukan aktifitas belajar maupun berpikir. Dengan meditasi, pikiran menjadi lebih tenang dan damai. Pikiran yang tenang dan damai tersebut membantu seseorang untuk lebih tenang dalam melakukan aktifitas khususnya belajar dan dapat terciptanya belajar yang lebih kondusif.

Belajar sering disebut sebagai bekerjanya otak atau segala aktifitas yang berhubungan dengan otak. Saraf dan sel –sel otak yang bekerja mengumpulkan semua yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan lain-lain, lalu disusun oleh otak sebagai hasil belajar. Itulah sebabnya, orang tidak bisa belajar jika fungsi otaknya terganggu (Sobur, 2003:217).

Satu contoh ketika seseorang sedang mengerjakan tugas, ia merasa kesulitan. Beban pikiran yang diterima dalam sehari penuh membuat otak menjadi lelah dan sulit untuk berpikir. Kemudian, ia menuju bhakti sala dan melakukan meditasi. Setelah kembali, ia merasa lebih tenang, damai dan bahagia. Akhirnya, setelah itu ia kembali mengerjakan tugasnya, dan dapat mengerjakan dengan penuh ketenangan dan mengerjakan dengan pikiran yang tenang.

Berdasarkan contoh tersebut, pelaksanaan meditasi membantu konsentrasi yang baik bagi otak. Sehingga dalam belajar, seseorang menjadi lebih fokus dan terkonsentrasi dengan baik pula. Selain memiliki manfaat yang baik bagi otak, meditasi memiliki manfaat lain yang diperoleh yaitu memperoleh ketenangan dalam batin serta menumbuhkan kebijaksanaan dalam diri. Dengan kebijaksanaannya, maka ia akan lebih memaknai hidup, dicintai oleh orang yang berada di sekelilingnya. Seperti Sabda Buddha yaitu “Para bijaksana yang tekun bermeditasi dan bahagia dalam damainya Kebebasan (Nirwana) para Buddha nan Sempurna, bahkan Dewa-dewa pun mencintainya (Dhp. 181)”.

Mulailah belajar melatih meditasi. Luangkan waktu untuk melakukan meditasi untuk memenuhi kebutuhan otak dan pikiran serta kebutuhan spiritual. Sebagaimana yang di Sabdakan oleh Sang Buddha yaitu “Daripada hidup seratus tahun, tapi tanpa pengetahuan dan kendali; sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari orang bijaksana yang tekun bermeditasi (Dhp, VIII: 111)”. Artinya, waktu cukup banyak yang dimiliki akan tidak bermanfaat jika di sia-siakan. Maka, akan lebih baik jika dimanfaatkan untuk bermeditasi.



C.      Referensi



Abu, Ahmadi dan Widodo. 2013. Psikologi belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

King, Laura A. 2010. Psikologi Umum. Jakarta: Salemba Humanika.

Mahatera, Ven. Narada. 1989. Dhammapada. Bandung: Karaniya.

Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Tim CV. Karya Abadi. Gelombang Otak dalam http://www.gelombangotak.com/meditasi_alpha_theta.htm. CV. Karya Abadi di unduh pada 23 Mei 2015.